Sabtu, 10 November 2012

ANTROPOLOGI AGAMA


A.    PENDAHULUAN
Struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.
Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah dihadapkan pada suatu tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai konsep yang nampaknya samar-samar tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial dan kebudayaan, dan bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual yang ada pada berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian mereka itu menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.
Dalam tulisan ini akan saya coba untuk mengkaji sistem konseptual mengenai struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan dengan upacara; yaitu dengan cara membahas cara-cara yang telah dilakukan secara berbeda oleh sejumlah ahli antropologi dalam melihat hubungan fungsional antara struktur sosial, agama, dan upacara; dan dalam cara mereka melihat hubungan antara struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan mencakup pembahasan mengenai: (1) Definisi Antropologi; (2) Konsep Agama Dalam Struktur Antropologi; (3) Agama Sebagai Sistem Kebudayaan; Dan (4) Agama Dalam Konsep Antropologi.
B.     Definisi Antropologi.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
Menurut William A. Haviland; Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Menurut David Hunter; Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Menurut Koentjaraningrat; Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari Definisi Antropologi di atas, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

C.     Konsep Agama Dalam Struktur Antropologi.
Agama tak pernah merupakan metafisika belaka. Bagi semua bangsa, bentuk-bentuk, wahana-wahana, dan objek-objek penyembahan diliputi dengan sebuah pancaran kesungguhan moral yang mendalam. Yang kudus di mana saja dalam dirinya mengandung sebuah rasa kewajiban intrinsik: yang kudus tidak hanya mendorong rasa bakti, melainkan juga menuntutnya; tidak hanya menimbulkan persetujuan intelektual, melainkan juga komitmen emosional. Entah yang kudus itu dirumuskan sebagai mana, sebagai Brahma, atau sebagai Tritunggal Mahakudus. Semua itu adalah apa yang dilukiskan tersendiri sebagai sesuatu yang lebih dari yang duniawi yang mau tak mau dianggap memiliki implikasi-implikasi yang amat jauh bagi arah tingkah-laku manusia. Bukan hanya tak pernah merupakan metafisika, agama juga tak pernah semata-mata merupakan etika. Sumber vitalitas moralnya dipahami terletak di dalam kepercayaan. Dengan kepercayaan tersebut, agama mengungkapkan ciri fundamental dari kenyataan. “Ought” (yang seharusnya ada) yang bersifat sangat memaksa itu dirasakan muncul dari suatu “is” (yang nyatanya ada) yang bersifat aktual yang komprehensif, dan dengan cara seperti itu agama mendasari tuntutan-tuntutan tindakan manusia yang paling spesifik di dalam konteks-konteks eksistensi manusia yang paling umum.
Dalam diskusi antropologis baru-baru ini, segi-segi moral (dan estetis) dari suatu kebudayaan tertentu, unsur-unsur evaluatif, pada umumnya diringkas dengan istilah “etos”, sedangkan segi-segi kognitif, eksistensialnya, dilukiskan oleh istilah “pandangan dunia”. Etos suatu bangsa adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis, dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan. Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang alam, diri, masyarakat. Pandangan dunia mengandung gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif mengenai tatanan. Kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain. Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkannya sebuah cara hidup yang tersirat oleh masalah-masalah aktual yang dilukiskan pandangan dunia itu. Pandangan dunia secara emosional dibuat dapat diterima dengan disajikan sebagai sebuah gambaran tentang masalah-masalah aktual dari cara hidup itu, dan cara hidup itu adalah suatu ekspresi otentik. Pembuktian atas hubungan yang bermakna antara nilai-nilai yang dianut suatu bangsa dan tatanan eksistensi yang bersifat umum yang di dalamnya bangsa itu menemukan dirinya ini merupakan sebuah unsur hakiki di dalam semua agama, bagaimanapun nilai-nilai itu atau tatanan itu dipahami. Bagaimanapun macamnya agama itu, agama adalah sebagian usaha (dari sesuatu yang lebih dirasakan implisit dan tak langsung daripada sesuatu yang dirasa eksplisit dan sadar dipikirkan) untuk memperbincangkan kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah-lakunya.
Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap. Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat―baik dalam wacana dan praktis sosialnya―menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan―seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci―dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya―primordial―yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia―dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
D.    Agama Sebagai Sistem Kebudayaan
Karya-karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya.
Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.
Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut Geertz Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.
Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang-ulang penekanannya dalam tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu “bentuk konseptual yang obyektif”. Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan”. Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) Yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) Yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem konsep dalma suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial.
Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mual ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu “mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan”.
Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam ke-seia-sekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz. “Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia”.
Dengan demikian, bila untuk Geertz kebudayaan adalah “seperangkat teks-teks simbolik”, maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa model dari Geertz tersebut melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini. Nampaknya hal ini disebabkan oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah “aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu sama lainnya” dan bahwa kesemuanya itu “tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem”; dan (2) Bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif, dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku. Karena menurut Geertz, “ide-ide memberikan informasi kepada hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu [yaitu struktur sosial]”.
Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian pembahasan ini bahwa sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan “emosional” mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis, sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan bila dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya; dan akhirnya dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari “tujuan-tujuan emosi dan kognitif” dari studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkannya.
E.     Agama Dalam Konsep Antropologi.
            Antropologi mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan tindakan dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang menunjuk pada apa yang dianggap suci dan supranatural. Sekarang terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan juga masyarakat yang komplek dan maju menganalisis simbolisme dalam agama dan mitos, serta mencoba mengembangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
            Yang menjadi penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi:
           
1)     Pola-pola keberagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totenisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat industri yang mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme.
2)     Agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan.
3)     Pengalaman religius, yang meliputi meditasi, doa mistisisme, sufisme.

Daftar pustaka:
·        Elizabeth, Nottigham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
·        Fathoni, Abdurrahmat,  Antropologi Sosial Budaya Suatu  Pengantar (Jakarta: Rineka Putra, 2006) 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar