A. PENDAHULUAN
Struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional
telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan ada
sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya
perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu
kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.
Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah dihadapkan pada suatu
tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai konsep yang nampaknya
samar-samar tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial dan kebudayaan, dan
bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan
sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual yang ada pada
berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan dari
prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian mereka itu
menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.
Dalam tulisan ini akan saya coba untuk mengkaji sistem konseptual
mengenai struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan dengan upacara; yaitu
dengan cara membahas cara-cara yang telah dilakukan secara berbeda oleh
sejumlah ahli antropologi dalam melihat hubungan fungsional antara struktur
sosial, agama, dan upacara; dan dalam cara mereka melihat hubungan antara
struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan mencakup pembahasan
mengenai: (1) Definisi Antropologi; (2) Konsep Agama Dalam Struktur
Antropologi; (3) Agama Sebagai Sistem Kebudayaan; Dan (4)
Agama Dalam Konsep Antropologi.
B. Definisi
Antropologi.
Antropologi
adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang
budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal
dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat
istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu
antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan
masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi
tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan
sosialnya.
Antropologi
berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
Menurut
William A. Haviland; Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Menurut
David Hunter; Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas
tentang umat manusia.
Menurut
Koentjaraningrat; Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan.
Dari Definisi Antropologi di atas, dapat disusun pengertian
sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi
keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi,
nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang
lainnya berbeda-beda.
C. Konsep
Agama Dalam Struktur Antropologi.
Agama tak pernah merupakan
metafisika belaka. Bagi semua bangsa, bentuk-bentuk, wahana-wahana, dan
objek-objek penyembahan diliputi dengan sebuah pancaran kesungguhan moral yang
mendalam. Yang kudus di mana saja dalam dirinya mengandung sebuah rasa
kewajiban intrinsik: yang kudus tidak hanya mendorong rasa bakti, melainkan
juga menuntutnya; tidak hanya menimbulkan persetujuan intelektual, melainkan
juga komitmen emosional. Entah yang kudus itu dirumuskan sebagai mana,
sebagai Brahma, atau sebagai Tritunggal Mahakudus. Semua itu adalah apa
yang dilukiskan tersendiri sebagai sesuatu yang lebih dari yang duniawi yang
mau tak mau dianggap memiliki implikasi-implikasi yang amat jauh bagi arah
tingkah-laku manusia. Bukan hanya tak pernah merupakan metafisika, agama juga
tak pernah semata-mata merupakan etika. Sumber vitalitas moralnya dipahami
terletak di dalam kepercayaan. Dengan kepercayaan tersebut, agama mengungkapkan
ciri fundamental dari kenyataan. “Ought” (yang seharusnya ada) yang
bersifat sangat memaksa itu dirasakan muncul dari suatu “is” (yang
nyatanya ada) yang bersifat aktual yang komprehensif, dan dengan cara seperti
itu agama mendasari tuntutan-tuntutan tindakan manusia yang paling spesifik di
dalam konteks-konteks eksistensi manusia yang paling umum.
Dalam diskusi antropologis baru-baru
ini, segi-segi moral (dan estetis) dari suatu kebudayaan tertentu, unsur-unsur
evaluatif, pada umumnya diringkas dengan istilah “etos”, sedangkan segi-segi
kognitif, eksistensialnya, dilukiskan oleh istilah “pandangan dunia”. Etos
suatu bangsa adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya
estetis, dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap
diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam
kehidupan. Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka tentang kenyataan apa
adanya, konsep mereka tentang alam, diri, masyarakat. Pandangan dunia
mengandung gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif mengenai tatanan.
Kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain.
Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkannya sebuah cara
hidup yang tersirat oleh masalah-masalah aktual yang dilukiskan pandangan dunia
itu. Pandangan dunia secara emosional dibuat dapat diterima dengan disajikan
sebagai sebuah gambaran tentang masalah-masalah aktual dari cara hidup itu, dan
cara hidup itu adalah suatu ekspresi otentik. Pembuktian atas hubungan yang
bermakna antara nilai-nilai yang dianut suatu bangsa dan tatanan eksistensi
yang bersifat umum yang di dalamnya bangsa itu menemukan dirinya ini merupakan
sebuah unsur hakiki di dalam semua agama, bagaimanapun nilai-nilai itu atau
tatanan itu dipahami. Bagaimanapun macamnya agama itu, agama adalah sebagian
usaha (dari sesuatu yang lebih dirasakan implisit dan tak langsung daripada
sesuatu yang dirasa eksplisit dan sadar dipikirkan) untuk memperbincangkan
kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu, masing-masing individu
menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah-lakunya.
Selama ini belum ada laporan
penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak
mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah
mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan
eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan
terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas
agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa
melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Seringkali kajian tentang politik,
ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama
sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya
tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap. Pernyataan bahwa
agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di
sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat
dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan
lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat
sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan
Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi
kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama
dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas
budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang
vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya
berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan
manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga
memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat―baik dalam
wacana dan praktis sosialnya―menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia.
Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan
manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi
Tuhan―seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci―dan konstruksi
manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang
direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya―primordial―yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan
Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh
budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama
yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan
penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama
sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam
masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan
merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan
kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan
suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia―dalam hal ini masalah
interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan
kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan
keragaman masalah sosialnya.
D. Agama Sebagai Sistem Kebudayaan
Karya-karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara,
memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi
mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan
bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan
bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk
menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan
itu agama juga mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya.
Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan
perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat,
menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan
konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan
kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya
secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.
Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata
menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi
ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem
simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut
Geertz Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang
terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara
historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam
bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi,
melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap
kehidupan.
Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang-ulang penekanannya dalam
tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang
dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu
“bentuk konseptual yang obyektif”. Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung
antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana
pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini
pemikiran manusia dapat dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam
bentuk simbol-simbol yang signifikan”. Dengan demikian sumber dari
simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) Yang berasal dari
kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi;
dan (2) Yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan
struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi
perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem
konsep dalma suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan
bentuk-bentuk sistem sosial.
Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai
mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai
persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari
upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem
yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada
hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya
dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula
simboliknya dan asal mual ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga
dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik
lainnya, yaitu “mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus
mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan
dipamerkan”.
Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan
sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai
perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif
yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat
saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak
dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang
lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera
serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam ke-seia-sekataan yang
struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari
pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz. “Dapatnya saling tukar
menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari
yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari
mental kita sebagai manusia”.
Dengan demikian, bila untuk Geertz kebudayaan adalah “seperangkat
teks-teks simbolik”, maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut
dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor,
kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah
dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial
(social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa model dari Geertz tersebut
melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini. Nampaknya hal ini disebabkan
oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya
dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah “aliran bersama yang
terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan
integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang
tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang
terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta
tergantung satu sama lainnya” dan bahwa kesemuanya itu “tidak harus berada
dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu
sama lainnya menjadi sistem-sistem”; dan (2) Bahwa model-model dari Geertz
bersifat fleksibel, ilusif, dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku.
Karena menurut Geertz, “ide-ide memberikan informasi kepada hubungan-hubungan
politik, ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu
[yaitu struktur sosial]”.
Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang
sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide tergolong sebagai
strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar artinya sebagai
pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang bersifat umum
dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian pembahasan ini bahwa
sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan “emosional” mempunyai
fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis,
sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan bila dibandingkan
dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya; dan akhirnya dapat
pula dikatakan bahwa penggunaan dari “tujuan-tujuan emosi dan kognitif” dari
studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam
upacara yang ditunjukkannya.
E. Agama
Dalam Konsep Antropologi.
Antropologi
mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Antropologi sosial agama
berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan tindakan dan kebiasaan yang
tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang menunjuk pada apa yang
dianggap suci dan supranatural. Sekarang terdapat kecenderungan antropologi
tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan juga
masyarakat yang komplek dan maju menganalisis simbolisme dalam agama dan mitos,
serta mencoba mengembangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan
mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam
pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan
kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Yang
menjadi penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah
mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi:
1) Pola-pola keberagamaan
manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic,
mitos, animisme, totenisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan polyteisme,
sampai pola keberagamaan masyarakat industri yang mengedepankan rasionalitas
dan keyakinan monoteisme.
2) Agama dan pengungkapannya
dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan,
semedi, selamatan.
3) Pengalaman religius, yang
meliputi meditasi, doa mistisisme, sufisme.
Daftar pustaka:
·
Elizabeth,
Nottigham, Agama dan Masyarakat
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
·
Fathoni,
Abdurrahmat, Antropologi Sosial Budaya Suatu
Pengantar (Jakarta: Rineka Putra, 2006)
·
http://jumhur.web.id/fakultas/perbandingan-agama/metode-dan-pendekatan-dalam-ilmu-perbandingan-agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar