BARAT
DAN PEMIKIRAN KONTEMPORER KITA
A.
Kemampuan
kebudayaan barat dalam kebudayaan kita
Anggapan
bahwa kebudayaan Barat lebih unggul dibanding peradaban Islam telah lama ada
dalam benak sebagian ummat Islam, dan akhir-akhir ini anggapan itu terasa
semakin kuat sehingga mereka menganggap Islam perlu belajar dari Barat dalam
segala hal, bahkan termasuk dalam memahami Islam. Sementara itu terdapat pula
kalangan ummat Islam yang bersikap sebaliknya, yaitu menganggap kebudayaan
Barat tidak sesuai dengan peradaban Islam dan segala sesuatu yang berasal dari
Barat harus ditolak, padahal orang-orang ini pada saat yang sama sedang
menikmati hasil kepesatan teknologi Barat yang dimanfaatkan oleh hampir seluruh
Negara di dunia. Kedua anggapan diatas sama ekstrimnya dan sudah dapat diduga
bahwa keduanya tidak berangkat dari pemahaman yang akurat tentang peradaban
Islam dan kebudayaan Barat.
1.
Kebudayaan
Barat & Problem ummat Islam
Kebudayaan Barat (Western Civilization), sejarahnya, adalah warisan
yang dikembangkan oleh bangsa Eropah dari akar kebudayaan Yunani kuno, yang
kaya dengan konsep filsafat, ilmu pengetahuan, politik, pendidikan dan
kesenian, yang dicampur dengan kebudayaan Romawi yang terkenal dengan rumusan
undang-undang dan hukum serta prinsip ketatanegaraan, dan unsur-unsur lain dari
budaya bangsa-bangsa Eropah, khususnya bangsa Jerman, Inggeris dan Perancis.
Agama Kristen yang tersebar ke Eropah justru lebih banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan Barat daripada mempengaruhi, sehingga dalam agama ini unsur-unsur
kepercayaan Yunani kuno, Rumawi, Mesir dan Persia. Inilah agama satu-satunya
yang pusat asalnya berpindah, yaitu dari Yerussalam ke Roma, Italy. Ini
pertanda bahwa agama ini telah diambil alih oleh bangsa Eropah. Jadi kebudayaan
Barat bukan berdasarkan pada agama Kristen, ia adalah kebudayaan yang
berdasarkan pada filsafat.
Oleh sebab itu perlu dicatat disini adalah bahwa kepesatan
perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak berangkat
dari ajaran agama. Ia adalah kebudayaan yang bersendikan pandangan hidup
sekuler. Pengaruh gelombang kebudayaan Barat melalui kolonialisme dan
imperialisme telah membawa dampak yang cukup serius terhadap negara-negara
dunia ketiga yang terjajah. Pandangan hidupnya yang sekuler dan kultural itu
mengandung elemen-elemen yang efektif merubah atau sekurang-kurangnya
mengacaukan pandangan hidup masyarakat yang menjadi obyek westernisasi.
Gelombang modernisme ini mengingatkan kita pada gelombang Hellenisme
yang mengepakkan sayapnya ke berbagai pusat kebudayaan dunia masa itu, termasuk
ke dalam peradaban Islam. Dan untuk itu perlu dibandingkan bagaimana kondisi
ummat Islam ketika gelombang itu melanda mereka. Di zaman Hellenisme ummat
Islam memiliki kemampuan dan kekuatan konseptual untuk mengadapsi atau
mengislamkan filsafat Yunani. Kekuatan konseptual itu untuk mengadapsi itu
tidak lain adalah ilmu pengetahuan yang berakar pada pandangan hidup Islam
(Islamic worldview). Sedangkan di zaman modern-postmodern ini ummat Islam tidak
memiliki kekuatan seperti dizaman menyebarnya gelombang Hellenisme.
Mengapa ummat Islam dizaman sekarang ini tidak mempunyai kekuatan
itu lagi? Jawabannya sungguh kompleks yang intinya berkisar pada problem ilmu
pengetahuan dan hal-hal yang diakibatkannya dalam bentuk lingkaran setan. Jika
sebab-sebab itu ditelusur dari sejak kejatuhan Baghdad dan kelemahan kekuasaan
politik Islam di berbagai pelosok dunia, dampak yang mendasar adalah timbulnya
problem Ilmu. Kondisi politik saat itu tidak kondusif untuk pengembangan ilmu,
banyak ulama yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga
struktur masyarakt tidak lagi mendukung untuk kelanjutan tradisi intelektual.
Meskipun kegiatan dalam skala kecil masih dapat terus berlangsung hingga kini.
Jika kita lacak dari problem ilmu yang berarti juga problem
pendidikan maka akibat langsungnya adalah rendahnya kualitas pemimpin dan
kondisi politik Islam yang akhirnya juga kembali lagi berdampak kepada proses
pengembangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Terlepas dari mana kita mencari
sebab sebab utama kelemahan ummat, tapi yang jelas situasi yang tidak kondusif
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu telah mengakibatkan lemahnya penguasaan
ummat Islam terhadap konsep-konsep sentral dan fundamental yang digali dari
dalam ajaran dan pandangan hidup Islam.
Selain jawaban dari kondisi internal ummat Islam, terdapat pula
bukti-bukti adanya faktor eksternal yang menjadi penyebab kelemahan ummat.
Selain sebab invasi militer yang kasat mata, juga terdapat sebab non-fisik yang
mempengaruhi pemikiran ummat Islam. Sebab-sebab itu tidak lain dari pemikiran
Barat yang merasuk kedalam dan merusak pemikiran ummat Islam melalui berbagai
bentuk dan medium. Dalam bidang pendidikan, misalnya, konsep pendidikan sekuler
yang dibawa bersama dengan proses penjajahan membawa serta penyebaran
prinsip-prinsip ilmu, filsafat dan pandangan hidup Barat; tradisi-tradisi
kebudayaan sekuler disebarkan melalui medium hiburan, nilai-nilai
postmodernisme dengan konsep liberalismenya dibawa bersama dengan konsep pasar
bebas, teknologi informasi dan pemikiran filsafat.
Dalam bidang pemikiran Islam kajian Orientalisme memang sudah lama
dikenal sebagai kajian atau pemikiran Islam ala Barat, yang tidak saja sarat
dengan "religious prejudice" tapi juga diwarnai oleh mind-set up yang
sekuler dan cara brefikir yang dikotomis. Bagi cendekiawan Muslim yang tidak memiliki
framework kajian Islam yang mapan dan juga tidak mempunyai pemahaman yang jeli
tentang karakter berfikir dikotomis Barat, tentu akan mengagumi pemikiran para
orientalis itu dan serta merta memakainya dalam pemikiran keagamaan mereka.
Karena memang teknik penulisan para Orientalis itu benar-benar mengikuti
standar ilmiah. Tapi bukankah kebohongan dan kepalsuan itu juga dapat terjadi
dalam dunia ilmiah?
Kini jelaslah bahwa berbeda dari kondisi ummat dizaman gelombang
Hellenisme, dizaman modern-postmodern ini kondisi ummat Islam sangat lemah,
khususnya dibidang ilmu pengetahuan. Dalam kondisi yang lemah inilah arus
pemikiran Barat telah masuk kedalam pemikiran ummat Islam melalui berbagai
bidang kehidupan dan keilmuan, sehingga konsep-konsep mereka merembes kedalam
pemikiran ummat Islam tanpa proses adaptasi secara konseptual. Akibatnya,
konsep-konsep Islam dan Barat difahami secara tumpang tindih (overlapp) dalam
skala luas. Bahkan diantara kalangan muda Muslim ada yang beranggapan bahwa
Islamisasi adalah sekularisasi. Ketika konsep-konsep dari kedua kebudayaan itu
telah dianggap sama, maka masyarakat Muslim terkondisi untuk menyimpulkan bahwa
"antara Islam dan Barat tidak ada perbedaan yang berarti";
"keduanya adalah produk manusia dan untuk kebaikan nasib ummat manusia";
"tidak semua yang dari Barat harus kita tolak", "agar dapat maju
Islam harus belajar dari Barat" dan ungkapan-ungkapan kesimpulan yang
serupa.
Persoalannya kesimpulan-kesimpulan yang menganggap Barat adalah sama
dengan Islam itu timbul dari pikiran ummat Islam disaat mereka berada pada
kondisi yang lemah secara konseptual dan dari pemahaman yang kurang akurat
tentang esensi kebudayaan Barat. Dalam situasi seperti ini apa yang diperlukan
adalah ekposisi secara apa adanya tentang hakekat pandangan hidup Barat yang
menjadi dasar kebudayaannya. Karya Prof.Dr.S.M.N.al-Attas, yang berjudul
"Risalah Untuk Kaum Muslimin", menjelaskan dengan sangat komprehensif
esensi kebudayaan Barat dan perbedaannya dengan Islam.
Oleh karena itu terapi yang tepat untuk membangun peradaban Islam
adalah melalui pembenahan dalam bidang ilmu pengetahuan dimana konsep-konsep
yang asli Islam digali kembali. Disinilah konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan
kontemporer merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi arus modernisme, sekularisme,
liberalisme dan lain-lain yang berasal dari Barat.
2.
Peradaban
Islam
Berbeda dari kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat,
peradaban Islam berlandaskan pada agama Islam yang berasal dari wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Esensi peradaban Islam dapat ditelusur
melalui kajian konsep-konsep kunci didalamnya, seperti 'ilm, 'amal, adab, din
dan sebagainya. Berfikir dan berilmu dalam Islam adalah kewajiban yang sama
derajatnya dengan kewajiban beramal saleh, bahkan iman merupakan sesuatu yang
concomitant pada kesemua kegiatan berfikir dan beramal, dalam artian keberadaan
yang satu tidak sempurna tanpa disertai oleh yang lain. Proses psikologis dan
psikis yang terpadu ini sudah di set dalam diri manusia sebagai potensialitas
yang jika diaktualisasikan secara proporsional ia akan memenuhi tujuan
penciptaannya sebagai sebaik-baik makhluk Tuhan (ahsunu taqwim) dan sebaliknya
ia akan menjadi makhluk yang paling hina (asfala safilin). Di Barat berfikir
rasional yang membawa kepada doktrin rasionalisme tidak memiliki dimensi iman
dan amal. Lagipun, konsep akal bukan sekedar bermakna mind, ia meliputi qalb,
fuad, bashar, aql dan sebagainya; dan karena itu konsep berfikir dalam Islam
bukan sekedar bermakna reasoning dalam pengertian Barat, tapi lebih kaya dari
itu dan meliputi unsur-unsur kejiwaan yang lebih menyeluruh seperti tafakkur,
tadabbur, ta'aqqul.
Konsep berfikir ini juga berkaitan dengan konsep 'ilmu yang
merupakan pemberian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Jika rasionalitas
adalah esensi Islam, maka para filosof Barat yang menjunjung prinsip
rasionalitas itu dapat disebut Ulama yang dapat dipastikan takut kepada Allah
(yakhshallah), padahal sejatinya tidak. Jika rasionalitas dikaitkan dengan 'ilm
maka ia tidak dapat dipisahkan dari iman, dan orang yang berilmu itu menjadi
superior jika ia berangkat dari atau berdasarkan pada iman kepada Allah.
Sebelum seseorang beriman ia perlu mengetahui apa yang diimaninya,
dan seorang mukmin harus berilmu agar dapat beramal. Ilmu tanpa amal adalah
gila, kata al-Ghazzali, dan amal tanpa ilmu adalah sombong. Amal tanpa ilmu
lebih banyak merusak daripada memperbaiki dan amal tanpa ilmu akan menyesatkan,
kata para ahli hikmah. Jadi ilmu adalah prasyarat bagi amal dan memiliki
peranan sentral dalam peradaban Islam.
Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti
jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual
(ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu
mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan
konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha
pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan
mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal
dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu
sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan
kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya. Jika ia
seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang
pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia
berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika
ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih)
seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun
dan dihadapan manusia (rakyat).
Jika kita memahami adab seperti itu, maka kita harus merubah
pemahaman kita terhadap makna peradaban selama ini. Peradaban adalah suatu
struktur sosial dan spiritual yang merupakan sumbangan Islam yang berharga bagi
ummat manusia. Realitas sosial dan spiritual itu harus difahami secara
integral, tidak dapat dipisah-pisahkan atau dilihat secara sendiri-sendiri
tanpa saling-berkaitan seperti dalam tradisi dan kebudayaan Barat.
Oleh sebab itu peradaban Islam tidak sama dengan kebudayaan Barat
atau kebudayaan asing lainnya, karena akarnya memang berbeda. Di Barat
masyarakat berbudaya atau civil society hanya menggambarkan kedudukan
individu-individu itu dihadapan Negara, sedang masyarakat beradab menggambarkan
kedudukan individu dihadapan Tuhan dan didepan masyarakatnya sekaligus.
Struktur civil society tidak melibatkan unsur-unsur spiritual, sedang struktur
masyarakat beradab adalah kombinasi aspek-aspek fisikal dan spiritual yang
sesuai dengan esensi kemanusiaannya. Manusia berbudaya adalah manusia yang
tunduk pada aturan-aturan Negara, sedang manusia beradab tunduk pada perintah
Tuhan, aturan Negara dan masyarakatnya sekaligus. Dalam civil society Tuhan
"tidak boleh campur tangan" mengenai urusan negara, sedang dalam
masyarakat beradab aturan-aturan dan perintah Tuhan mengejawantah dalam setiap
gerak individu masyarakat dan pemimpin Negara dan menghiasai berbagai gerak dan
kegiatan institusi negara, dalam suatu bangunan peradaban yang manusiawi.
Atas dasar itu iman, ilmu dan amal setiap individu masyarakat adalah
sine qua non dalam bangunan peradaban Islam, yang aktualisasinya pasti
tercermin secara institusional dan tak terbantahkan, baik dalam bentuk
organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan, bahkan Negara.
Sebaliknya, organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan dan juga
Negara yang dibentuk oleh individu-individu Muslim yang tidak beradab atau yang
memenuhi prasyarat bagi pembentukan bangunan peradaban Islam hanya akan menjadi
simbol-simbol dan wadah-wadah yang secara substantif tidak mencerminkan wajah
peradaban Islam bahkan mungkin malah merusaknya.
B.
Sikap
Kajian Nasional Kita Terhadap Barat
Dengan proyek Oksidentalisme, Hanafi
berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai
satu-satunya representasi (kekuatan) dunia, di mana selama ini telah
menghipnotis Timur (baca: Islam) dengan pemahaman semu bahwa Barat adalah pusat
kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat
peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain. Dalam "Sikap
Kita Terhadap Tradisi Barat", Hanafi menyerukan kepada umat Islam untuk
menyikapi secara kritis (bukan ofensif atau defensif) hegemoni kultural,
politik, dan ekonomi Barat yang terkemas di balik kajian Orientalisme.
Ia mengemukakan, pemahaman versi Barat tersebut mengakibatkan pusat-pusat peradaban non-Barat menjadi dependen dan terikat kepada peradaban Barat (Eurosentrisme). Di mana peradaban Barat terlanjur dipandang sebagai "produk akhir dari eksperimentasi manusia". Atau meminjam istilah Hegel, "seluruh peradaban menjadi terasing di luar dirinya dan terikat dengan hal lain yang bukan dirinya".
Ia mengemukakan, pemahaman versi Barat tersebut mengakibatkan pusat-pusat peradaban non-Barat menjadi dependen dan terikat kepada peradaban Barat (Eurosentrisme). Di mana peradaban Barat terlanjur dipandang sebagai "produk akhir dari eksperimentasi manusia". Atau meminjam istilah Hegel, "seluruh peradaban menjadi terasing di luar dirinya dan terikat dengan hal lain yang bukan dirinya".
Maka tak mengherankan bila selama
peradaban Barat (Eropa) menjadi sentral, sentris, dan non-Barat menjadi
ekstremis, pola relasi antarperadaban pun menjadi monolitik, dan bahkan
dominatif. Di sinilah, menurut Hanafi, tugas Oksidentalisme untuk merontokkan,
dan jika perlu menghapus sama sekali dikotomi sentrisme versus ekstrimisme;
superior versus inferior. Untuk kemudian, dibangun sebuah pandangan yang
egalitarianistis antara Timur dan Barat.
Menurut Hanafi, dalam Orientalisme
selama hampir empat abad (Orientalisme dimulai abad ke-17, sementara
Oksidentalisme baru lahir akhir abad ke-20), posisi Barat sebagai subyek
pengkaji Timur telah menimbulkan stereotipe-stereotipe psikologis yang luar
biasa parah, terutama rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan
diri sebagai pengamat tersebut. Sebaliknya Timur yang dijadikan obyek kajian,
dan bahkan sasaran penjajahan pun merasa inferior. Karena itu, jika hubungan
superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan
Barat-Timur selama berabad-abad, tetapi juga memperkeruh komplikasi sejarah
dalam konflik peradaban.
Meskipun inti dari proyek
Oksidentalisme Hassan Hanafi adalah merekomendasikan agar ekspansi kolonialisme
Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan—di mana perang kebudayaan mesti
cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke
wilayah geografis dan historisnya; menghapus rasa inferior dunia Islam yang
“vis a vis” dengan superior dunia Barat—tetapi pada sisi lain "mengakhiri
Orientalisme" ini juga menjadi penting dalam pengertian mengubah status
Timur dari sekadar obyek, menjadi subyek. Bahkan lebih dari itu, Oksidentalisme
juga dapat mengubah peradaban Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian;
melacak sejarah, sumber, lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan,
struktur, dan keterbentukan peradabannya.
Dalam pandangan Komaruddin Hidayat,
secara historis gagasan Oksidentalisme memang merupakan sebuah keharusan
epistemologis yang diperhadapkan pada Orientalisme, menjadi sebuah pendekatan
dan konsep yang berguna membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat
Islam. Karena posisi Barat sebagai pengkaji Timur yang telah menimbulkan
stereotipe dan kompleksitas tertentu memang harus diluruskan untuk mencapai
kejujuran sejarah dan sebuah titik berimbang—sebuah "harmoni
kebudayaan-peradaban" antara al-ana (Timur/ dunia Islam) dengan al-akhar
(the other, Barat).
Dan harmoni tersebut perlu
dilestarikan, terutama dari sudut pandang ontologisnya, seperti yang dilukiskan
dengan cukup indah oleh Hanafi, "membebaskan ego dari kekuasaan the other
pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri secara
bebas." "Saya tidak teralienasi" karena itu "saya
ada"; atau "saya bukan orang lain" dan karenanya "saya
ada".
By: Helmi
Ø Daftar
Pustaka:
Hanafi, Hassan. “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat”. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.
Hanafi, Hassan. “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat”. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.
Ø Misrawi, Zuhairi. “Revitalisasi
Oksidentalisme”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/10/opini/2498234.htm.
Ø Juliastuti, Nuraini. “Kajian
Kolonialisme”. Newsletter KUNCI No. 3, November 1999. http://kunci.or.id/esai/nws/03/kolonialisme.htm.
Ø Abdalla, Ulil Abshal. “Edward Said
dan Masalah Orientalisme”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/05/seni/603000.htm.
Ø Shimogaki, Kazuo. “Kiri Islam:
Antara Modernisme dan Posmodernisme”. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Ø Assykaunie, Luthfi. “Al Qur’an dan
Orientalisme”. http://islamlib.com/id/artikel/alquran-dan-orientalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar